SITUASI
POLITIK AKHIR KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB KW DAN LAHIRNYA DINASTI BANI
UMAYYAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: M. Aqil Luthfan, MA, M.Hum
Oleh :
Danang Abdul Rachmansyah 1403046048
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidun merujuk
pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur
Rasyidun atau Khalifah yang memperoleh petunjuk tidak
terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para
khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama
dapat diberi gelar Khulafaur rasyidun adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.
Setelah Khalifah Ustman wafat, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Khalifah Ali
memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi
berbagai pergolakan. Setelah menduduki jabatan khalifah, Khalifah Ali
menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Khalifah Ustman kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem
distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Khalifah Umar.
Seperti yang kita ketahui dalam sejarah Islam, sistim
pemerintahan yang diterapkan seringkali berubah-ubah dari waktu ke waktu, dari
sistim demokrasi yang diterapkan pada zaman Nabi Muhammad hingga pada masa Khulafaur
Rasyidun. Tetapi setelah masa Khulafaur Rasyidun usai, sistim
pemerintahanpun berubah yang semula demokrasi berubah menjadi monarki yang mana
pusat pemerintahan dipegang oleh seorang Raja dan keturunannya, yang mana pada
saat itu merupakan masa pemerintahan Bani Umayyah. Banyaknya peristiwa yang
melatar belakangi bisa berkuasanya Bani Ummayah pada saat itu. Diantaranya yang
paling penting oleh umat Islam adalah peristiwa Tahkim (Arbitrase)
antara Khalifah Ali Bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah Bin Abi Sufyan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana situasi sosial politik pada akhir masa pemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib ?
2. Bagaimana sejarah terbentuknya dinasti bani Umayyah ?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Mengetahui situasi sosial politik pada akhir masa pemerintahan Khalifah Ali
Bin Abi Thalib.
2. Mengetahui sejarah terbentuknya dinasti bani Umayyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Situasi Sosial politik Pada Akhir Masa Pemerintahan
Ali Bin Abi Thalib
Selama pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, beliau menghadapi berbagai
pergolakan, tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahannya yang dikatakan
stabil. Setelah memangku jabatan Khalifah, beliau mengubah apa yang telah
ditetapkan oleh Khalifah Ustman. Sudah banyak
diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian
dalam membela yang hak. Beliau cepat mengambil tindakan. Beliau segera
mengeluarkan perintah / kebijakan yang menunjukan ketegasan sikapnya, antara
lain kebijakan-kebijakan Khalifah Ali Bin Abi Thalib :
1.
Memecat
beberapa gubernur yang pernah diangkat Khalifah Utsman bin Affan, mereka adalah
Bani Umayyah dan menggantinya dengan gubernur kepercayaan Khalifah Ali. Adapun para gubernur yang diangkat
Khalifah Ali Ibn Abi Thalib sebagai pengganti gubernur lama yaitu; Sahl Ibnu
Hanif sebagai gubernur Syria, Umrah Ibnu Syihab sebagai gubernur kuffah, Qais
Ibnu Sa'ad sebagai gubernur Mesir, Ubaidah Ibnu Abbas sebagai gubernur Yaman.
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Utsman
kepada keluarga-keluarganya dan yang dihadiahkan Utsman kepada para
pendukungnya dan hasil tanah tersebut diserahkan ke kas Negara.[1]
3. Berusaha mengembalikan pemerintahan islam seperti pada
masa pemerintahan khalifah Umar.
4. Memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah (Januari
657 M), dikarenakan pengikut beliau yang paling banyak berada di Kufah.[2]
Disamping itu, Khalifah Ali juga berusaha
mengembalikan kebijaksanaan khalifah Umar bin Khattab pada tiap kesempatan yang
memungkinkan. Ia melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Membenahi dan menyusun arsip negara dengan tujuan
untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah.
2. Membentuk kantor hajib (perbendaharaan)
3. Mendirikan kantor shahib al-Shurta (pasukan
pengawal)
4. Mendirikan lembaga qadhi al-Mudhalim, suatu
unsur pengadilan yang kedudukannya lebih tinggi dari qadhi (memutuskan
hukum) atau muhtasib (mengawasi hukum). Lembaga ini bertugas untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi
atau penyelesaian perkara banding.
5. Mengorganisir polisi sekaligus menetapkan tugas-tugas
mereka. Mengenai bidang kemiliteran, kaum muslimin pada masa khalifah Ali
telah berhasil meluaskan wilayah kekuasaan Islam. Misalnya setelah
pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, orang Arab mengadakan penyerangan
laut atas Konkan (pantai Bombay). Negarawan yang juga ahli perang ini
mendirikan pemukiman-pemukiman militer di pebatasan Syiria. Sambil
memperkuat daerah perbatasan negaranya, ia juga membangun benteng-benteng yang
tangguh di Utara perbatasan Parsi.
Keadaan sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sudahlah
sangat tidak stabil karena terjadi pemberotakan dimana-mana.
Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat diselesaikan hingga akhir
kepemimpinannya, hingga hal-hal tersebut menyebabkan pecahnya umat islam
menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan bagi Ali bin Abi
Thalib.[3]
Diantara pemberontakan-pemberontakan tersebut adalah:
1. Perang Jamal (36 H/657 M)
Pada saat itu Aisyah yang disertai Zubair dan Thalhah
serta kaum muslimin yang berasal dari Mekkah menuju Basrah untuk menetap
disana. Mereka sampai disana dan menguasai Basrah. Bahkan mereka berhasil
meringkus para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat ke beberapa wilayah
untuk melakukan hal yang sama.
Ali pun mengubah rute perjalanannya dari Syam ke
Basrah. Beliau mengirimkan beberapa utusan kepada Aisyah dan orang-orang yang
bersamanya dan menerangkan dampak negatif dari apa yang mereka lakukan. Mereka
puas dengan apa yang dikatakan oleh Ali dan mereka kembali ke base pasukan
untuk melakukan kesepakatan damai.
Keduanya hampir saja melakukan kesepakatan damai.
Namun, Abdullah bin saba’ dan pengikutnya yang menyimpang merasa ketakutan. Kembali
mereka berhasil mengobarkan api perang di antara pasukan islam.
Kedua pasukan terlibat pertempuran yang demikian
sengit. 30.000 pasukan pimpinan Zubair ibn Awwam, Talhah ibn Ubaidillah dan Ummul
Mu’minin Aisyah binti Abu Bakar bertempur menghadapi 20.000 pasukan
pimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Khalifah Ali tidak bisa menghentikan
peperangan ini. Pertempuran terjadi demikian sengitya didepan unta yang membawa
tandu Aisyah. Sehingga, kemudian perang ini disebut dengan Perang Jamal (Perang
Unta).[4]
Sejarah mencatat bahwa korban pertempuran itu, pada
kedua belah pihak, berjumlah kurang lebih 10.000 jiwa.[5]
Kemenangan peperangan ini dipihak khalifah Ali dengan
korban Talhah dan Zubair mati terbunuh. Sedangkan Siti Aisyah ditawan yang
akhirnya diantar pulang kembali ke Mekah dengan segala peghormatan sebagai ibu
mertua Khalifah Ali. Ini merupakan perang pertama yang terjadi antara dua
kelompok kaum muslimin.
2. Perang Siffin (37H/658M)
Dari Basrah, Ali kemudian membawa
pasukannya ke Kufah. Perhatiannya kini tertuju pada Muawiyah bin Abu Sufyan
yang bermarkas di Damaskus. Tindakan pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali
adalah mengutus Jarir bin Abdullah untuk menyampaikan surat kepadanya dan
menawarkan perundingan. Akan tetapi, Muawiyah tetap pada pendiriannya dan
terkesan untuk membuka perang saudara. Hal ini disebabkan karena ia merasa
kecewa terhadap kebijakan Ali bin Abi Thalib tentang pemberhentiannya sebagai
gubernur di Syam (yang jabatannya digantikan oleh Sabi bin Junaif). Selain itu,
Muawiyah bin Abu Sufyan juga menuntut qisas para pembunuh Utsman bin Affan. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur
dalam pembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali. Hal ini
bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantung jubah
Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum di mimbar
masjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung.
Pada akhir Dzulhijjah 36
H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria utara. Dalam
perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus sungai tersebut
telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidak mengizinkan pihak
Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusan pada Mu’awiyah
agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak.
Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan
dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai
pihak Ali, mereka ini tetap mengizinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan
airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai
maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan di dataran Shiffin, dan Ali masih
berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Ali mengirim utusan
dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untuk melangsungkan perundingan dengan
pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 mereka mencapai persetujuan yakni
menghentikan perundingan untuk sementara dan masing-masing pihak akan memberi
jawaban pada akhir bulan Muharram. Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali
karena akan mengurangi semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa
memperbesar kekuatannya. Maka bulan Saffar 37 H/685 M terjadilah perang siffin
dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak
Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islam di
kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitklan
semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak
korban pada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas
pemegang kendali perang pihak Mu’awiyah. Bila kendali perang jatuh pada pihak
lawan maka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak
Mu’awiyah, Amru bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak
dan berseru marilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Ali
memerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh. Tapi sebagian
besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telah meminta
bertahkim kepada Kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkan
diantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali, mari berserah kepada Kitabullah
jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap anda seperti apa yang kami
perbuat pada Ustman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau
menghadapi orang-orang sendiri. Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang
ini 35.000 orang dari pihak Ali dan 45.000 orang dari pihak Mu’awiyah. Peperangan
ini diakhiri dengan Takhkim (Arbitrase). Akan tetapi hal itu tidak dapat
menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tiga golongan.
Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikut Mu’awiyah dan
Khawarij (Orang-orang yang keluar dari golongan Ali).
3. Perang Nahrawain
Ali menggerakkan
pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatu tempat bernama Nahrawan,
terletak dipinggir sungai tigris (Al dajlah).
Sebelum
perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkan kaum Khawarij. Dan
Ali memberikan pesan bersyarat yang berbunyi: “Barang siapa pulang kembali ke
Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelah
itu 500 orang diantara mereka, sebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagi pindah
ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang. Dengan begitu
pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karena keberanian
kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenangan berada
dipihak Ali dan tokoh Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhab tewas
dalam peperangan ini. Golongan Khawarij yang bermarkas di Nahrawain benar-benar
merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatan pada pihak Mu’awayah untuk
memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya
sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah, sementara kekuatan
Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambil posisi Mesir
berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.
4. Peristiwa Tahkim Daumatul Jandal pada
Masa Ali bin Abi Thalib
Hasil tahkim karena kejujuran dan kelemahan Abu Musa
Al-Asy’ari dan juga karena kecerdikan dan ketidakjujuran Amr bin Ash merugikan
pihak Ali. Pasukan Ali sangat kecewa dengan hasil tahkim, karena kemenangan
perang siffin yang sudah hampir ditangan, telah hilang dan tidak dapat
diharapkan kembali. Oleh karena itu, pendukung Ali bin Abi Thalib terpecah
menjadi dua: kelompok yang tetap mendukung Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
(Syiah) dan kelompok yang melakukan pembelotan dengan menentang kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib (Khawarij). Mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali
bin Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak
yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib. Sedangkan disisi lain,
Mu’awiyah dan pengikutnya tetap bersatu dan berarti lebih kuat dari pada
pendukung Ali bin Abi Thalib.
Kelompok Ali yang kecewa dengan hasil tahkim berkumpul
di Mekah dan melakukan kesepakatan yang dipimpin oleh Abd al-Rahman Ibn Muljam
al-Maradi, al-Bark Ibn ‘Abdullah al-Tamimi, dan Amr Ibn Bakir al-tamimi untuk
menentang kepada pemimpin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Oleh karena itu
umat islam terbagi menjadi tiga kelompok politik: Ali, Mu’awiyah dan Khawarij.
Ali dihadapkan pada dua lawan: Mu’awiyah dan khawarij,
Ali dan pasukannya disibukan dengan melawan khawarij yang jumlahnya sekitar 12.000
orang. Ketika Ali menumpas khawarij, Mu’awiyah memanfaatkan kesempatan dengan
mengirim pasukan dibawah Amr bin Ash ke Mesir dan berhasil mengalahkan pasukan
Qais yang menjadi Amir Mesir. Pasukan khawarij dikalahkan oleh pasukan Ali bin
Abi Thalib ketika bertempur di Nahrawan. Sisa khawarij melarikan diri ke
Bahrain dan Afrika Utara. Akan tetapi, pasukan Ali bin Abi Thalib kelelahan
dalam berperang sehingga khalifah tidak dijaga ketat. Sedangkan disisi lain,
penjagaan Mu’awiyah begitu ketat. Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali bin
Abi Thalib dan Mu’awiyah. Yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib oleh
seorang Khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada saat akan
melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun
40 H/ 661 M.[6],
sedangkan Mu’awiyah gagal mereka bunuh.[7]
Sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, khawarij
mengeluarkan beberapa statement yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim
sebagai kafir. Dalam mengeluarkan statemen politiknya, khawarij tampaknya tidak
lagi berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam wilayah teologi atau kalam
yang merupakan fondasi bagi keberagaman umat islam. Khawarij dinilai keluar
dari wilayah politik karena menilai kafir terhadap orang-orang yang terlibat
tahkim. Kafir dan mukminnya seseorang paling tidak, menurut Harun Nasution,
bukan wilayah politik, tetapi wilayah kalam atau teologi. Karena menilai kafir
terhadap Utsman, Ali, Mu’awiyah, Abu Musa al-Asy’ari, Amr bin Ash, khawarij
tidak lagi dinilai sebagai aliran politik, tetapi dianggap sebagai aliran
kalam.
Disamping penentang, Ali bin Abi Thalib memiliki
pendukung yang sangat fanatik dan setia kepadanya. Dengan adanya oposisi
terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kesetiaan mereka terhadap Ali bin Abi
Thalib semakin bertambah, apalagi setelah Ali bin Abi Thalib wafat dibunuh oleh
kalangan khawarij. Mereka yang fanatik terhadap Ali bin Abi Thalib dikenal
dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah.[8]
Kedudukan Ali sebagai khalifah dijabat oleh anaknya
Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara
Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini
dapat mempersatukan umat islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Disisi lain, perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah
menjadi penguasa absolut dalam islam. Adapun perjanjian antara Hasan dan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan yaitu :
a. Mu’awiyah harus memberikan jaminan akan keselamatan
jiwa, harta dan keluaraga Hasan.
b. Mu’awiyah harus memberikan keamanan kepada semua warga
yang tinggal di Suriah, Irak, Hijaz, dan Yaman.
c. Mu’awiyah harus menjaga nama baik Khalifah Ali bin Abi
Thalib termasuk menghentikan caci-maki di dalam khutbah maupun pidato-pidatonya
d. Setelah Mu’awiyah wafat jabatan khalifah harus
diserahkan kembali kepada musyawarah kaum muslimin.[9]
Tahun 41 H./ 661 M., tahun persatuan itu
dikenal dalam sejarah sebagai tahun jamaah (‘am jamaah). Jadi ‘am jamaah adalah
tahun persatuan antara Hasan dan Mu’awiyah, artinya bahwa antara mereka tidak
terjadi perebutan kekuasaan dan mereka berdamai serta menjalankan pemerintahan
dalam satu kepemimpinan.[10]
B. Sejarah Terbentuknya Daulah Bani Ummayah
Berdirinya dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh sebuah
peristiwa penting di dalam perjalan sejarah umat Islam, yaitu peristiwa Am’ al-Jamaah (rekonsiliasi umat Islam) di Maskin, dekat
Madain, Kufah, pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa ini merupakan salah satu
peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Peristiwa ini di tandai
dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khalifah) dari tangan Hasan bin Ali kepada
Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Tindakan tersebut
sebenarnya banyak ditentang oleh pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib. Secara
bijaksana, Hasan bin Ali menjelaskan alasan-alasan tindakannya, Beliau
mengatakan,”Aku tidak rela menyaksikan kalian saling bunuh karena perebutan
kekuasaan. Inti kekuatan bangsa Arab sekarang ditanganku. Mereka akan rela
berdamai jika aku berdamai, dan mereka bersedia perang jika kau berperang. Akan
tetapi, aku tidak menginginkan peperangan, karena aku cinta perdamaian”.[11]
Selanjutnya, Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengakui Muawiyah bin Abi
Sufyan sebagai pemimpin umat Islam. Pengakuan itu kemudian diikuti oleh
para pendukungnya di kota Kufah, Irak.
Bani Umayyah
adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa ar-Rasyidin yang
memerintah dari 661-M sampai 750-M di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari
756-M sampai 1031-M di Cordova, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada
Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah,
yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Mu’awiyah.
Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini. Terbentuknya Dinasti ini
dan Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi, menurut ahli sejarah,
terjadi pada saat Umayah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliyah
(Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang,
Pemerintahan Dinasti Umayah.
Ketika ini
wilayah kekuasaan Islam sangatlah luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat
jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad,
merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah
mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan
ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
1.
Islam, disamping merupakan ajaran
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal
pembentukan masyarakat.
2.
Dalam dada para Sahabat Nabi
Muhammad tertanam keyakinan tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam /
Dakwah keseluruh penjuru dunia.
3.
Byzantium dan Persia pada saat itu
telah mengalami kemunduran dan kelemahan karena sering terjadi perang.
4.
Pertentangan aliran agama di wilayah
Byzantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
5.
Islam datang ke daerah-daerah yang
dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran.
6.
Bangsa Sami di Syria dan Palestina
dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka.
7.
Mesir, Syiria, dan Irak adalah
daerah-daerah yang kaya.
Zaman kepemimpinan Bani Umayyah
telah mengubah bentuk pemerintahan yang telah dijalankan oleh Nabi Muhammad dan
para sahabat yang demokratis menjadi Monarki Absolut. Yakni sistim dinasti atau
kerajaan yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun kepada anak cucunya.
Akhirnya, Selama kurang lebih 91 tahun banu Umayyah berkuasa dengan 14 khalifahnya, yakni:
1.
Muawiyah I ibn Abi Sufyan, 661-680
M.
2.
Yazid I ibn Muawiyah, 680 – 683 M.
3.
Muawiyah II ibn Yazid, 683 – 684 M.
4.
Marwan I ibn Hakam, 684 – 685 M.
5.
Abd Al-Malik ibn Marwan, 685 – 705
M.
6.
Al-Walid I ibn Abd Al-Malik, 705 –
715 M.
7.
Sulaiman ibn Abd Al-Malik, 715 – 717
M.
8.
Umar ibn Abd Al-Aziz, 717 – 720 M.
9.
Yazid II ibn Abd Al-Malik, 720 – 724
M.
10.
Hisyam ibn Abd Al-Malik, 724 – 743
M.
11.
Al Walid II ibn Yazid II, 743 – 744
M.
12.
Yazid III ibn Al-Walid, 744 M.
13.
Ibrahim ibn Al Walid, 744 M.
14.
Marwan II ibn Muhammad, 744 – 750M.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Situasi Sosial politik Pada Akhir Masa Pemerintahan Ali Bin Abi Thalib
Selama pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib,
beliau menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada masa sedikitpun dalam masa
pemerintahannya yang dikatakan stabil. Beliau
segera mengeluarkan perintah / kebijakan yang menunjukan ketegasan sikapnya. Disamping itu, Khalifah Ali juga berusaha mengembalikan
kebijaksanaan khalifah Umar bin Khattab pada tiap kesempatan yang memungkinkan.
Ia melakukan beberapa hal, yaitu:
Keadaan sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sudahlah
sangat tidak stabil karena terjadi pemberotakan dimana-mana.
Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat diselesaikan hingga akhir
kepemimpinannya, Diantara pemberontakan-pemberontakan tersebut adalah:
1. Perang Jamal (36 H/657 M)
2. Perang Siffin (37H/658M)
3. Perang Nahrawain
4. Peristiwa Tahkim Daumatul Jandal pada Masa Ali bin Abi
Thalib
Pasukan Ali sangat kecewa dengan hasil tahkim, karena
kemenangan perang siffin yang sudah hampir ditangan, telah hilang dan tidak
dapat diharapkan kembali. Kelompok Ali yang kecewa dengan hasil tahkim
berkumpul di Mekah dan melakukan kesepakatan.
Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi
Thalib dan Mu’awiyah. Yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib oleh
seorang Khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada saat akan
melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun
40 H/ 661 M.[13],
sedangkan Mu’awiyah gagal mereka bunuh.[14]
Kedudukan Ali sebagai khalifah dijabat oleh anaknya
Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara
Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Adapun perjanjian
antara Hasan dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yaitu :
1. Mu’awiyah harus memberikan jaminan akan keselamatan
jiwa, harta dan keluaraga Hasan.
2. Mu’awiyah harus memberikan keamanan kepada semua warga
yang tinggal di Suriah, Irak, Hijaz, dan Yaman.
3. Mu’awiyah harus menjaga nama baik Khalifah Ali bin Abi
Thalib termasuk menghentikan caci-maki di dalam khutbah maupun pidato-pidatonya
4. Setelah Mu’awiyah wafat jabatan khalifah harus
diserahkan kembali kepada musyawarah kaum muslimin.[15]
Sejarah
Terbentuknya Daulah Bani Ummayah
Berdirinya dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh sebuah
peristiwa penting di dalam perjalan sejarah umat Islam, yaitu peristiwa Am’ al-Jamaah (rekonsiliasi umat Islam) di Maskin, dekat
Madain, Kufah, pada tahun 41 H/661 M.
Bani Umayyah adalah kekhalifahan
Islam pertama setelah masa Khulafa ar-Rasyidin yang memerintah dari 661-M
sampai 750-M di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756-M sampai 1031-M di
Cordova, Spanyol.
Ketika ini
wilayah kekuasaan Islam sangatlah luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat
jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad.
Zaman kepemimpinan Bani Umayyah
telah mengubah bentuk pemerintahan yang telah dijalankan oleh Nabi Muhammad dan
para sahabat yang demokratis menjadi Monarki Absolut.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Pemakalah memohon maaf
apabila ada kesalahan dalam pengejaan maupun penulisan kata serta kalimat yang
kurang jelas, dan beberapa hal yang masih kurang dimengerti. Dan pemakalah juga
sangat menerima saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima di hati dan saya
mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad,2003, “Sejarah Islam
Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX”, Jakarta: Media Grafika.
As’ad, Mahrus
dan Adad Nursahad,2009,”Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam”,Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama.
Asnawi,
Muh,2007,”Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 1 Kelas VII”,Semarang: CV.
Aneka Ilmu.
Karim, M. Abdul,2007.”Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam”,Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Mubarok, Jaih,2004,”Sejarah Peradaban Islam”,Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Sou’yb, Joesoef,1979,”Sejarah Daulat Khulafaur
Rasyidin”,Jakarta: Bulan Bintang.
Supriyadi, Dedi,2008.”Sejarah peradaban Islam,Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Syukur, H. Fatah,2011,”Sejarah Peradaban Islam”,Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra.
[1] Ahmad
Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Media
Grafika, 2003 ), hlm.173.
[2] M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007), hlm.107.
[4] Ahmad
Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, ( Jakarta: Media
Grafika, 2003), hlm. 174-175.
[5] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.
478.
[6] Ahmad
Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar
Media, 2003), hlm.177.
[7] Jaih
Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.
89-90.
[8] Dedi
Supriyadi, Sejarah peradaban Islam, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm.
98-99.
[9] Muh.
Asnawi, Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 1 Kelas VII, ( Semarang: CV. Aneka Ilmu,
2007), hlm.6.
[10] H. Fatah
Syukur, Sejarah Peradaban Islam, ( Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2011),
hlm.69.
[11] Mahrus
As’ad dan Adad Nursahad, Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama,2009), hlm.61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar