Jumat, 08 Januari 2016

Situasi Politik Akhir Kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib KW dan Lahirnya Dinasti Bani Umayyah

SITUASI POLITIK AKHIR KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB KW DAN LAHIRNYA DINASTI BANI UMAYYAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: M. Aqil Luthfan, MA, M.Hum 


Oleh :
Danang Abdul Rachmansyah           1403046048

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SEMARANG
2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidun merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidun atau Khalifah yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar Khulafaur rasyidun adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8.
Setelah Khalifah Ustman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Khalifah Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Setelah menduduki jabatan khalifah, Khalifah Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Khalifah Ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Khalifah Umar.
Seperti yang kita ketahui dalam sejarah Islam, sistim pemerintahan yang diterapkan seringkali berubah-ubah dari waktu ke waktu, dari sistim demokrasi yang diterapkan pada zaman Nabi Muhammad hingga pada masa Khulafaur Rasyidun. Tetapi setelah masa Khulafaur Rasyidun usai, sistim pemerintahanpun berubah yang semula demokrasi berubah menjadi monarki yang mana pusat pemerintahan dipegang oleh seorang Raja dan keturunannya, yang mana pada saat itu merupakan masa pemerintahan Bani Umayyah. Banyaknya peristiwa yang melatar belakangi bisa berkuasanya Bani Ummayah pada saat itu. Diantaranya yang paling penting oleh umat Islam adalah peristiwa Tahkim (Arbitrase) antara Khalifah Ali Bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah Bin Abi Sufyan.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana situasi sosial politik pada akhir masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib ?
2.    Bagaimana sejarah terbentuknya dinasti bani Umayyah ?

C.  Tujuan Pembuatan Makalah
1.    Mengetahui situasi sosial politik pada akhir masa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
2.    Mengetahui sejarah terbentuknya dinasti bani Umayyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Situasi Sosial politik Pada Akhir Masa Pemerintahan Ali Bin Abi Thalib
Selama pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, beliau menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah memangku jabatan Khalifah, beliau mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Khalifah Ustman. Sudah banyak diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam membela yang hak. Beliau cepat mengambil tindakan. Beliau segera mengeluarkan perintah / kebijakan yang menunjukan ketegasan sikapnya, antara lain kebijakan-kebijakan Khalifah Ali Bin Abi Thalib :
1.    Memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat Khalifah Utsman bin Affan, mereka adalah Bani Umayyah dan menggantinya dengan gubernur kepercayaan Khalifah Ali. Adapun para gubernur yang diangkat Khalifah Ali Ibn Abi Thalib sebagai pengganti gubernur lama yaitu; Sahl Ibnu Hanif sebagai gubernur Syria, Umrah Ibnu Syihab sebagai gubernur kuffah, Qais Ibnu Sa'ad sebagai gubernur Mesir, Ubaidah Ibnu Abbas sebagai gubernur Yaman.
2.    Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Utsman kepada keluarga-keluarganya dan yang dihadiahkan Utsman kepada para pendukungnya dan hasil tanah tersebut diserahkan ke kas Negara.[1]
3.    Berusaha mengembalikan pemerintahan islam seperti pada masa pemerintahan khalifah Umar.
4.    Memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah (Januari 657 M), dikarenakan pengikut beliau yang paling banyak berada di Kufah.[2]
Disamping itu, Khalifah Ali juga berusaha mengembalikan kebijaksanaan khalifah Umar bin Khattab pada tiap kesempatan yang memungkinkan. Ia melakukan beberapa hal, yaitu:
1.    Membenahi dan menyusun arsip negara dengan tujuan untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah.
2.    Membentuk kantor hajib (perbendaharaan)
3.    Mendirikan kantor shahib al-Shurta (pasukan pengawal)
4.    Mendirikan lembaga  qadhi al-Mudhalim, suatu unsur pengadilan yang kedudukannya lebih tinggi dari qadhi (memutuskan hukum) atau muhtasib  (mengawasi hukum). Lembaga ini bertugas untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi atau penyelesaian perkara banding.
5.    Mengorganisir polisi sekaligus menetapkan tugas-tugas mereka. Mengenai bidang kemiliteran, kaum muslimin pada masa khalifah Ali  telah berhasil meluaskan wilayah kekuasaan Islam.  Misalnya setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, orang Arab mengadakan penyerangan laut atas Konkan (pantai Bombay). Negarawan yang juga ahli perang ini mendirikan pemukiman-pemukiman militer di  pebatasan Syiria. Sambil memperkuat daerah perbatasan negaranya, ia juga membangun benteng-benteng yang tangguh di Utara perbatasan Parsi.

Keadaan sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sudahlah sangat tidak stabil karena terjadi pemberotakan dimana-mana. Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat diselesaikan hingga akhir kepemimpinannya, hingga hal-hal tersebut menyebabkan pecahnya umat islam menjadi beberapa golongan dan sangat tidak menguntungkan bagi Ali bin Abi Thalib.[3] Diantara pemberontakan-pemberontakan tersebut adalah:

1.    Perang Jamal (36 H/657 M)

Pada saat itu Aisyah yang disertai Zubair dan Thalhah serta kaum muslimin yang berasal dari Mekkah menuju Basrah untuk menetap disana. Mereka sampai disana dan menguasai Basrah. Bahkan mereka berhasil meringkus para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat ke beberapa wilayah untuk melakukan hal yang sama.

Ali pun mengubah rute perjalanannya dari Syam ke Basrah. Beliau mengirimkan beberapa utusan kepada Aisyah dan orang-orang yang bersamanya dan menerangkan dampak negatif dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas dengan apa yang dikatakan oleh Ali dan mereka kembali ke base pasukan untuk melakukan kesepakatan damai.

Keduanya hampir saja melakukan kesepakatan damai. Namun, Abdullah bin saba’ dan pengikutnya yang menyimpang merasa ketakutan. Kembali mereka berhasil mengobarkan api perang di antara pasukan islam.

Kedua pasukan terlibat pertempuran yang demikian sengit. 30.000 pasukan pimpinan Zubair ibn Awwam, Talhah ibn Ubaidillah dan Ummul Mu’minin Aisyah binti Abu Bakar bertempur menghadapi 20.000 pasukan pimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Khalifah Ali tidak bisa menghentikan peperangan ini. Pertempuran terjadi demikian sengitya didepan unta yang membawa tandu Aisyah. Sehingga, kemudian perang ini disebut dengan Perang Jamal (Perang Unta).[4]

Sejarah mencatat bahwa korban pertempuran itu, pada kedua belah pihak, berjumlah kurang lebih 10.000 jiwa.[5]

Kemenangan peperangan ini dipihak khalifah Ali dengan korban Talhah dan Zubair mati terbunuh. Sedangkan Siti Aisyah ditawan yang akhirnya diantar pulang kembali ke Mekah dengan segala peghormatan sebagai ibu mertua Khalifah Ali. Ini merupakan perang pertama yang terjadi antara dua kelompok kaum muslimin.

2.    Perang Siffin (37H/658M)

Dari Basrah, Ali kemudian membawa pasukannya ke Kufah. Perhatiannya kini tertuju pada Muawiyah bin Abu Sufyan yang bermarkas di Damaskus. Tindakan pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali adalah mengutus Jarir bin Abdullah untuk menyampaikan surat  kepadanya dan menawarkan perundingan. Akan tetapi, Muawiyah tetap pada pendiriannya dan terkesan untuk membuka perang saudara. Hal ini disebabkan karena ia merasa kecewa terhadap kebijakan Ali bin Abi Thalib tentang pemberhentiannya sebagai gubernur di Syam (yang jabatannya digantikan oleh Sabi bin Junaif). Selain itu, Muawiyah bin Abu Sufyan juga menuntut qisas para pembunuh Utsman bin Affan. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Utsman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali. Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantung jubah Utsman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum di mimbar masjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung.
Pada akhir  Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus sungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidak mengizinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusan pada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak. Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali, mereka ini tetap mengizinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan di dataran Shiffin, dan Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Ali mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir bin Amru untuk melangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 mereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara dan masing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram. Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Maka bulan Saffar 37 H/685 M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orangdari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islam di kota Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitklan semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korban pada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang kendali perang pihak Mu’awiyah. Bila kendali perang jatuh pada pihak lawan maka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah, Amru bin Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berseru marilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Ali memerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh. Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telah meminta bertahkim kepada Kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkan diantara panglima pasukannya Mus’ar bin Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali, mari berserah kepada Kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap anda seperti apa yang kami perbuat pada Ustman.”Akhirnya Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang-orang sendiri. Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari pihak Ali dan 45.000 orang dari pihak Mu’awiyah. Peperangan ini diakhiri dengan Takhkim (Arbitrase). Akan tetapi hal itu tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tiga golongan. Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikut Mu’awiyah dan Khawarij (Orang-orang yang keluar dari golongan Ali).

3.    Perang Nahrawain

Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatu tempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (Al dajlah).
Sebelum perang diumumkan, Ali masih punya harapan untuk menyadarkan kaum Khawarij. Dan Ali memberikan pesan bersyarat yang berbunyi: “Barang siapa pulang kembali ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan.”Sejarah mencatat setelah itu 500 orang diantara mereka, sebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagi pindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang. Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karena keberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenangan berada dipihak Ali dan tokoh Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah bin Wahhab tewas dalam peperangan ini. Golongan Khawarij yang bermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatan pada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah, sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambil posisi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.


4.    Peristiwa Tahkim Daumatul Jandal pada Masa Ali bin Abi Thalib

Hasil tahkim karena kejujuran dan kelemahan Abu Musa Al-Asy’ari dan juga karena kecerdikan dan ketidakjujuran Amr bin Ash merugikan pihak Ali. Pasukan Ali sangat kecewa dengan hasil tahkim, karena kemenangan perang siffin yang sudah hampir ditangan, telah hilang dan tidak dapat diharapkan kembali. Oleh karena itu, pendukung Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua: kelompok yang tetap mendukung Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (Syiah) dan kelompok yang melakukan pembelotan dengan menentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (Khawarij). Mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali bin Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib. Sedangkan disisi lain, Mu’awiyah dan pengikutnya tetap bersatu dan berarti lebih kuat dari pada pendukung Ali bin Abi Thalib.

Kelompok Ali yang kecewa dengan hasil tahkim berkumpul di Mekah dan melakukan kesepakatan yang dipimpin oleh Abd al-Rahman Ibn Muljam al-Maradi, al-Bark Ibn ‘Abdullah al-Tamimi, dan Amr Ibn Bakir al-tamimi untuk menentang kepada pemimpin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Oleh karena itu umat islam terbagi menjadi tiga kelompok politik: Ali, Mu’awiyah dan Khawarij.

Ali dihadapkan pada dua lawan: Mu’awiyah dan khawarij, Ali dan pasukannya disibukan dengan melawan khawarij yang jumlahnya sekitar 12.000 orang. Ketika Ali menumpas khawarij, Mu’awiyah memanfaatkan kesempatan dengan mengirim pasukan dibawah Amr bin Ash ke Mesir dan berhasil mengalahkan pasukan Qais yang menjadi Amir Mesir. Pasukan khawarij dikalahkan oleh pasukan Ali bin Abi Thalib ketika bertempur di Nahrawan. Sisa khawarij melarikan diri ke Bahrain dan Afrika Utara. Akan tetapi, pasukan Ali bin Abi Thalib kelelahan dalam berperang sehingga khalifah tidak dijaga ketat. Sedangkan disisi lain, penjagaan Mu’awiyah begitu ketat. Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib oleh seorang Khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada saat akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun 40 H/ 661 M.[6], sedangkan Mu’awiyah gagal mereka bunuh.[7]

Sebagai oposisi terhadap kekuasaan yang ada, khawarij mengeluarkan beberapa statement yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai kafir. Dalam mengeluarkan statemen politiknya, khawarij tampaknya tidak lagi berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam wilayah teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagaman umat islam. Khawarij dinilai keluar dari wilayah politik karena menilai kafir terhadap orang-orang yang terlibat tahkim. Kafir dan mukminnya seseorang paling tidak, menurut Harun Nasution, bukan wilayah politik, tetapi wilayah kalam atau teologi. Karena menilai kafir terhadap Utsman, Ali, Mu’awiyah, Abu Musa al-Asy’ari, Amr bin Ash, khawarij tidak lagi dinilai sebagai aliran politik, tetapi dianggap sebagai aliran kalam.

Disamping penentang, Ali bin Abi Thalib memiliki pendukung yang sangat fanatik dan setia kepadanya. Dengan adanya oposisi terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kesetiaan mereka terhadap Ali bin Abi Thalib semakin bertambah, apalagi setelah Ali bin Abi Thalib wafat dibunuh oleh kalangan khawarij. Mereka yang fanatik terhadap Ali bin Abi Thalib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah.[8]

Kedudukan Ali sebagai khalifah dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Disisi lain, perjanjian itu menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam islam. Adapun perjanjian antara Hasan dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yaitu :
a.      Mu’awiyah harus memberikan jaminan akan keselamatan jiwa, harta dan keluaraga Hasan.
b.      Mu’awiyah harus memberikan keamanan kepada semua warga yang tinggal di Suriah, Irak, Hijaz, dan Yaman.
c.       Mu’awiyah harus menjaga nama baik Khalifah Ali bin Abi Thalib termasuk menghentikan caci-maki di dalam khutbah maupun pidato-pidatonya
d.      Setelah Mu’awiyah wafat jabatan khalifah harus diserahkan kembali kepada musyawarah kaum muslimin.[9]

 Tahun 41 H./ 661 M., tahun persatuan itu dikenal dalam sejarah sebagai tahun jamaah (‘am jamaah). Jadi ‘am jamaah adalah tahun persatuan antara Hasan dan Mu’awiyah, artinya bahwa antara mereka tidak terjadi perebutan kekuasaan dan mereka berdamai serta menjalankan pemerintahan dalam satu kepemimpinan.[10]

B.  Sejarah Terbentuknya Daulah Bani Ummayah
Berdirinya dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa penting di dalam perjalan sejarah umat Islam, yaitu peristiwa Am’ al-Jamaah (rekonsiliasi umat Islam) di Maskin, dekat Madain, Kufah, pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Peristiwa ini di tandai dengan prosesi penyerahan kekuasaan (khalifah) dari tangan Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan yang telah berkuasa lebih kurang 6 bulan. Tindakan tersebut sebenarnya banyak ditentang oleh pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib. Secara bijaksana, Hasan bin Ali menjelaskan alasan-alasan tindakannya, Beliau mengatakan,”Aku tidak rela menyaksikan kalian saling bunuh karena perebutan kekuasaan. Inti kekuatan bangsa Arab sekarang ditanganku. Mereka akan rela berdamai jika aku berdamai, dan mereka bersedia perang jika kau berperang. Akan tetapi, aku tidak menginginkan peperangan, karena aku cinta perdamaian”.[11] Selanjutnya, Hasan bin Ali melakukan sumpah setia dan mengakui Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai pemimpin umat Islam. Pengakuan itu kemudian diikuti oleh para pendukungnya di kota Kufah, Irak.

Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa ar-Rasyidin yang memerintah dari 661-M sampai 750-M di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756-M sampai 1031-M di Cordova, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Mu’awiyah. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini. Terbentuknya Dinasti ini dan Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi, menurut ahli sejarah, terjadi pada saat Umayah memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliyah (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh Majelis Tahkim sebagai pemenang, Pemerintahan Dinasti Umayah.
Ketika ini wilayah kekuasaan Islam sangatlah luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
1.    Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2.    Dalam dada para Sahabat Nabi Muhammad tertanam keyakinan tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam / Dakwah keseluruh penjuru dunia.
3.    Byzantium dan Persia pada saat itu telah mengalami kemunduran dan kelemahan karena sering terjadi perang.
4.    Pertentangan aliran agama di wilayah Byzantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat.
5.    Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran.
6.    Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka.
7.    Mesir, Syiria, dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya.

Zaman kepemimpinan Bani Umayyah telah mengubah bentuk pemerintahan yang telah dijalankan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat yang demokratis menjadi Monarki Absolut. Yakni sistim dinasti atau kerajaan yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun kepada anak cucunya. Akhirnya, Selama kurang lebih 91 tahun banu Umayyah berkuasa dengan 14 khalifahnya,  yakni:
1.        Muawiyah I ibn Abi Sufyan, 661-680 M.
2.        Yazid I ibn Muawiyah, 680 – 683 M.
3.        Muawiyah II ibn Yazid, 683 – 684 M.
4.        Marwan I ibn Hakam, 684 – 685 M.
5.        Abd Al-Malik ibn Marwan, 685 – 705 M.
6.        Al-Walid I ibn Abd Al-Malik, 705 – 715 M.
7.        Sulaiman ibn Abd Al-Malik, 715 – 717 M.
8.        Umar ibn Abd Al-Aziz, 717 – 720 M.
9.        Yazid II ibn Abd Al-Malik, 720 – 724 M.
10.    Hisyam ibn Abd Al-Malik, 724 – 743 M.
11.    Al Walid II ibn Yazid II, 743 – 744 M.
12.    Yazid III ibn Al-Walid, 744 M.
13.    Ibrahim ibn Al Walid, 744 M.
14.    Marwan II ibn Muhammad, 744 – 750M.[12]

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Situasi Sosial politik Pada Akhir Masa Pemerintahan Ali Bin Abi Thalib
Selama pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, beliau menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahannya yang dikatakan stabil. Beliau segera mengeluarkan perintah / kebijakan yang menunjukan ketegasan sikapnya. Disamping itu, Khalifah Ali juga berusaha mengembalikan kebijaksanaan khalifah Umar bin Khattab pada tiap kesempatan yang memungkinkan. Ia melakukan beberapa hal, yaitu:
Keadaan sosial politik pada awal kepemimpinan Ali sudahlah sangat tidak stabil karena terjadi pemberotakan dimana-mana. Pemberontakan-pemberontakan itu tidak dapat diselesaikan hingga akhir kepemimpinannya, Diantara pemberontakan-pemberontakan tersebut adalah:

1.    Perang Jamal (36 H/657 M)
2.    Perang Siffin (37H/658M)
3.    Perang Nahrawain
4.    Peristiwa Tahkim Daumatul Jandal pada Masa Ali bin Abi Thalib

Pasukan Ali sangat kecewa dengan hasil tahkim, karena kemenangan perang siffin yang sudah hampir ditangan, telah hilang dan tidak dapat diharapkan kembali. Kelompok Ali yang kecewa dengan hasil tahkim berkumpul di Mekah dan melakukan kesepakatan.
Khawarij merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Yang berhasil mereka bunuh hanya Ali bin Abi Thalib oleh seorang Khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada saat akan melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun 40 H/ 661 M.[13], sedangkan Mu’awiyah gagal mereka bunuh.[14]
Kedudukan Ali sebagai khalifah dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Adapun perjanjian antara Hasan dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yaitu :
1.      Mu’awiyah harus memberikan jaminan akan keselamatan jiwa, harta dan keluaraga Hasan.
2.      Mu’awiyah harus memberikan keamanan kepada semua warga yang tinggal di Suriah, Irak, Hijaz, dan Yaman.
3.      Mu’awiyah harus menjaga nama baik Khalifah Ali bin Abi Thalib termasuk menghentikan caci-maki di dalam khutbah maupun pidato-pidatonya
4.      Setelah Mu’awiyah wafat jabatan khalifah harus diserahkan kembali kepada musyawarah kaum muslimin.[15]

Sejarah Terbentuknya Daulah Bani Ummayah
Berdirinya dinasti Umayyah dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa penting di dalam perjalan sejarah umat Islam, yaitu peristiwa Am’ al-Jamaah (rekonsiliasi umat Islam) di Maskin, dekat Madain, Kufah, pada tahun 41 H/661 M.
Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa ar-Rasyidin yang memerintah dari 661-M sampai 750-M di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756-M sampai 1031-M di Cordova, Spanyol.
Ketika ini wilayah kekuasaan Islam sangatlah luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad.
Zaman kepemimpinan Bani Umayyah telah mengubah bentuk pemerintahan yang telah dijalankan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat yang demokratis menjadi Monarki Absolut.


B.  Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Pemakalah memohon maaf apabila ada kesalahan dalam pengejaan maupun penulisan kata serta kalimat yang kurang jelas, dan beberapa hal yang masih kurang dimengerti. Dan pemakalah juga sangat menerima saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima di hati dan saya mengucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad,2003, “Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX”, Jakarta: Media Grafika.
As’ad, Mahrus dan Adad Nursahad,2009,”Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam”,Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Asnawi, Muh,2007,”Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 1 Kelas VII”,Semarang: CV. Aneka Ilmu.
Karim, M. Abdul,2007.”Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam”,Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Mubarok, Jaih,2004,”Sejarah Peradaban Islam”,Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Sou’yb, Joesoef,1979,”Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin”,Jakarta: Bulan Bintang.
Supriyadi, Dedi,2008.”Sejarah peradaban Islam,Bandung: CV. Pustaka Setia.
Syukur, H. Fatah,2011,”Sejarah Peradaban Islam”,Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra.



[1] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Media Grafika, 2003 ), hlm.173.
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm.107.
[3] H. Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,, 2011), hlm. 62.
[4] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, ( Jakarta: Media Grafika, 2003), hlm. 174-175.
[5] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 478.
[6] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hlm.177.
[7] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm. 89-90.
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah peradaban Islam, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm. 98-99.
[9] Muh. Asnawi, Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 1 Kelas VII, ( Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2007), hlm.6.
[10] H. Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, ( Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm.69.
[11] Mahrus As’ad dan Adad Nursahad, Ayo Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama,2009), hlm.61.
[12] H. Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, ( Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm.71



Tidak ada komentar:

Posting Komentar