OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pangampu : Nur
Hadi M.Pd.I
Oleh:
Danang Abdul Rachmansyah ( 1403046048 )
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Unsur
lain dari demokrasi adalah adanya pembagian kekuasaan dan kewenangan
pemerintahan. Tutuntutan akan pengelolaan pemerintahan daerah yang mandiri
dengan semangat otonomi daerah semakin marak. Namun demikian, kebijakan otonimo
daerah banyak disalahartikan oleh jajaran pengelola pemerintah di daerah.
Otonomi daerah dipahami sebagai kebebasan mengelola sumber daya daerah yang
cenderung melahirkan pemerintahan daerah yang tidak profesional dan tidak
terkontrol. Hal yang sangat menghawatirkan, seiring dengan pelaksanaan otonomi
daerah adalah lahirnya perundang-undangan daerah (perda) yang cenderung
bertolak belakangdengan semangat konstitusi negara dan dasar negara yang dapat
mengancam keutuhan Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.
Bab ini akan
membahas otonomi daerah yang meliputi konsep-konsep yang berhubungan dengan
otonomi daerah dan desentralisasi, aspek teoretis, dan implementasi otonomi
daerah di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja uu tentang otonomi daerah ?
2. Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia ?
3. Apa saja tantangan pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia ?
4. Apa saja kelebihan dan kekurangan otonomi daerah di
Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. UU tentang Otonomi Daerah
UU otonomi daerah merupakan dasar hukum pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia atau dapat juga disebut payung hukum pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia
menjadi payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi daerah
seperti, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan
seterusnya.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia telah mengalami
perubahan selama tujuh kali yang ditandai dengan perubahan UU otonomi daerah
/Desentralisasi, yaitu:
1.
UU Nomor 1 Tahun 1945, tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini
ditetapkan daerah otonom adalah keresidenan, kabupaten, dan kota. Tetapi tidak
ada Peraturan Pemerintahnya, sehingga tidak dilaksanakan dan usianya hanya tiga
tahun.
2.
UU Nomor 22 Tahun 1948, tentang susunan Pemda yang demokratis. Dalam
undang-undang ini ada dua jenis daerah otonom yaitu, daerah otonom biasa dan
daerah otonom istimewa. Juga ditetapkan tingkatan daerah otonom yaitu,
provinsi, kabupaten, dan desa kecil. Dalam undang-undang ini, pemerintah pusat
memberikan hak istimewa kepada beberapa daerah di Jawa Bali, Minangkabau, dan
Palembang untuk menghormati daerah tersebut guna melakukan pengaturan sendiri
daerahnya mengenai hak dan asal-usul daerah
3.
UU Nomor 1 Tahun 1957, tentang pemerintahan daerah yang berlaku menyeluruh
dan bersifat seragam.
4.
UU Nomor 18 Tahun 1965, tentang pemerintahan daerah yang menganut otonomi
seluas-luasnya.
5.
UU Nomor 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan
pusat di daerah. Undang-undang ini usianya paling panjang yaitu 25 tahun.
6.
UU Nomor 22 Tahun 1999, tentang otonomi daerah
7.
UU Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah
8.
UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah. Dalam undang-undang
ini terlihat jelas pembagian urusan pemerintahan, dimana pemerintah pusat
menjalankan urusan dalam pembuatan perundangan, politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, kebijakan fiskal dan moneter, serta agama.
Pemerintah daerah mempunyai kekuasaan selain wewenang pusat, yaitu bidang
ekonomi, perdagangan, industri, pertanian, tata ruang, pendidikan,
kesejahteraan, dan menjalankan fungsi pemerintahan umum sebagai wakil pemerintahan
pusat.
9.
UU Nomor 33 Tahun 2004, tentang penimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah. UU ini mengatur pembiayaan pembangunan daerah yang bersumber
dari PAD, dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain. UU ini juga mengatur
pembagian penerimaan antara pemerintah pusat dan daerah yaitu : penerimaan
hasil hutan (pusat 20%, daerah 80%), penerimaan dana reboisasi (pusat 60%,
daerah 40%), pertambangan umum dan perikanan (pusat 20%, daerah 80%),
pertambangan minyak (pusat 69,5%, daerah 30,5%), dan panas bumi (pusat 20%,
daerah 80%).[1]
B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia
1.
Pelaksanaan Otonomi daerah di masa orde baru
Pelaksanaan otonomi darah di masa orde baru yaitu sejak
tahun 1966, pemerintahan orde baru telah membangun suatu pemerintahan nasional
yang kuat dengan menempatkan trabilitas politik sebagai landasan untuk
mempercepat pembangunan ekonomi indonesia. Politik sebagai panglima telah
diganti dengan ekonomi sebagi panglima dan mobilisasi massa atas dasar partai
secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Dalam
konstelasi politik yang baru ini, militer telah menempati posisi yang paling
atas dalam hierarki kekuasaan.
Kenyataan menunjukkan, pemerintah
orde baru telah berhasil dalam melenyapkan hiperinflasi (inflasi beratus-ratus persen), mengubah modal yang
hengkang ke luar negeri menjadi arus masuk modal swasta yang substansial,
mengubah defisit cadangan devisa menjadi selalu positif, mempertahankan harga
beras dan meningkatkan produksiberas hingga mencapai tingkat swasembada, menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutkan dan menurunkan jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan.[2] Prestasi
politik dan ekonomi yang mengesahkan itu, tak pelak lagi telah ditopang dengan
kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka
struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah,
Undang-undang No. 50 Tahun 1974 yang mengaturtentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah dibentuk. Undang-undang No. 5/1974 ini telah melatakkan dasar-dasar
sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: pertama, desentralisasi yang mengandung, arti
penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasan
kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang
berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala
instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat di daerah. Ketiga, tugas pembantuan (mendebewind) yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi
dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai
penguasa daerah dan tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.
Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif.
Ditekankan pula
bahwa titik tolak desentralisasi di indonesia adalah daerah tingkat II, dengan
dasar pertimbangan: pertama, dimensi politik, daerah tingkat II dipandang
kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan
peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dimensi
administratif,penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
relatif dapat lebih efektif. Ketiga, daerah tingkat II adalah daerah “ujung
tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga daerah tingkat II lah yang lebih tahu
kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.[3]
2.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Reformasi
Pada masa krisis ekonomi,ditandai
dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi
yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal
ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga
apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan
guna menyesuaikan dengan keadaan. Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang
mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam
bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Di masa ini juga direalisasikan
berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan
konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak
investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat
kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk
menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang
selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan.[4]
C. Tantangan Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia
Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa yang
menjanjikan berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih
baik. Namun dalam realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak sesuai dengan apa
yang dibayangkan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada gilirannya harus
berhadapan dengan sejumlah tantangan yang berat untuk mewujudkan cita-citanya.
Tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Diantaranya adalah tantangan di bidang hukum dan sosial
budaya.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia dimulai segera setelah angin
sejuk reformasi berhembus di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria reformasi
dan dalam situasi dimana krisis ekonomi sedang mencekik tingkat kesejahteraan
rakyat, Negara Indonesia membuat suatu keputusan pemberlakuan dan pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia di
Judicial Review dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Judicial review ini dilakukan setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan
terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Judicial review tersebut
dilaksanakan dengan mendasarkannya pada logika hukum.
Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan dimana
mereka harus memahami peraturan perundang-undangan hasil judicial review. Tanpa
adanya pemahaman yang baik dari aparatur, maka bisa dipastikan pelaksanaan
otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan
persoalan hukum yang sering terjadi dimana peraturan perundang-undangan tidak
sesuai dengan realitas hukum masyarakat sehingga kehilangan nilai sosialnya dan
tidak dapat dilaksanakan. Wacana ini pernah ditulis oleh Hikmahanto Yuwono dan
dimuat di harian Kompas pada tahun 2002.
Pelaksanaan Otonomi Daerah telah mendorong lahirnya banyak
perubahan di Indonesia. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka yang berperan
siap dengan kondisi yang akan mereka hadapi. Diserahkannya kewenangan untuk
mengelola potensi daerah kepada pemerintah daerah tidak berarti bahwa daerah
bisa secara massif berupaya meningkatkan pendapatan daerah yang di sisi lain
justru berpotensi mengurangi investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi
masyarakat.
Demikian pula
bahwa perencanaan pembangunan di daerah mesti didasarkan pada analisa yang
obyektif bukan sekedar ambisi kepala daerah dan harrus secara bijak
memperhatikan kepentingan masyarakat kecil. Belakangan ini kita sangat sering
menyaksikan bagaimana para pedagang kecil yang harus disejahterakan melalui
pelaksanaan otonomi daerah justru menjadi korban penggusuran.[5]
D.
Keuntungan dan Kekurangan Otonomi Daerah
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya
sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten
dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa
sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan
bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan Otonomi dan Desentralisasi Kewenangan ini di lihat sangat
penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara
dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat
dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang
tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin perasaan
diberlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak makin
meluas dan terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi
nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan
dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah
sendiri.
Dengan demikian, kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi kewenangan
tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu
juga diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya
kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan
keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur
masyarakat Indonesia yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya
sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan
sebagai berikut ini.
1.
Mengurangi
bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
2.
Dalam
menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat,
sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
3.
Dalam sistem
desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan
(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi
teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan
khusu daerah.
4.
Dengan
adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang
dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat
diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi
pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk
diadakan.
5.
Mengurangi
kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
6.
Dari segi
psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang
lebuh beser kepada daerah.
7.
Akan
memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang
dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung
kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai
berikut ini.
1.
Karena besarnya
organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang
mempersulit koordinasi
2.
Keseimbangan
dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah
terganggu.
3.
Khusus mengenai
desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang
disebut daerahisme atau provinsialisme.
4.
Keputusan yang
diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang
bertele-tele.
5.
Dalam
penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
UU tentang Otonomi
Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia telah mengalami
perubahan selama tujuh kali yang ditandai dengan perubahan UU otonomi daerah
/Desentralisasi, yaitu:
1. UU Nomor 1 Tahun 1945, tentang Pemerintahan Daerah.
2. UU Nomor 22 Tahun 1948, tentang susunan Pemda yang
demokratis.
3. UU Nomor 1 Tahun 1957, tentang pemerintahan daerah yang
berlaku menyeluruh dan bersifat seragam.
4. UU Nomor 18 Tahun 1965, tentang pemerintahan daerah yang
menganut otonomi seluas-luasnya.
5. UU Nomor 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah. Undang-undang ini usianya paling
panjang yaitu 25 tahun.
6. UU Nomor 22 Tahun 1999, tentang otonomi daerah
7. UU Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah
8. UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang pemerintahan daerah.
9. UU Nomor 33 Tahun 2004, tentang penimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah.
Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia
1. Pelaksanaan Otonomi daerah di masa orde baru
Pelaksanaan Otonomi Darah di masa Orde Baru yaitu sejak
tahun 1966, pemerintahan orde baru telah membangun suatu pemerintahan nasional
yang kuat dengan menempatkan trabilitas politik sebagai landasan untuk
mempercepat pembangunan ekonomi indonesia. Politik sebagai panglima telah
diganti dengan ekonomi sebagi panglima dan mobilisasi massa atas dasar partai
secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Dalam
konstelasi politik yang baru ini, militer telah menempati posisi yang paling atas
dalam hierarki kekuasaan.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Reformasi.
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan,
namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama
32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati. Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan
ekonomi dan penegakan hukum.
Tantangan Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia
Pelaksanaan Otonomi Daerah telah mendorong lahirnya banyak
perubahan di Indonesia. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka yang berperan
siap dengan kondisi yang akan mereka hadapi. Diserahkannya kewenangan untuk
mengelola potensi daerah kepada pemerintah daerah tidak berarti bahwa daerah
bisa secara massif berupaya meningkatkan pendapatan daerah yang di sisi lain
justru berpotensi mengurangi investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi
masyarakat.
Demikian pula bahwa perencanaan pembangunan di daerah
mesti didasarkan pada analisa yang obyektif bukan sekedar ambisi kepala daerah
dan harrus secara bijak memperhatikan kepentingan masyarakat kecil. Belakangan
ini kita sangat sering menyaksikan bagaimana para pedagang kecil yang harus
disejahterakan melalui pelaksanaan otonomi daerah justru menjadi korban
penggusuran.
Keuntungan dan Kekurangan Otonomi Daerah
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan
sebagai berikut ini.
1.
Mengurangi
bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
2.
Dalam
menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat,
sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
3.
Dalam sistem
desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan
(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi
teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan
khusu daerah.
4.
Dengan
adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang
dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat
diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi
pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk
diadakan.
5.
Mengurangi
kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
6.
Dari segi
psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang
lebuh beser kepada daerah.
7.
Akan
memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang
dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung
kelemahan antara lain sebagai berikut ini.
1.
Karena besarnya
organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang
mempersulit koordinasi
2.
Keseimbangan
dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah
terganggu.
3.
Khusus mengenai
desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang
disebut daerahisme atau provinsialisme.
4.
Keputusan yang
diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang
bertele-tele.
5.
Dalam
penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.
B. Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat
yang kurang jelas, dan kurang dimengerti. Dan kami juga sangat menerima saran
dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari
kami semoga dapat diterima di hati dan kami mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Janti,
Sri. 2009.Pendidikan Kewarganegaraan
untuki Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kuncoro,
Mudrajat. 2004.Otonomi dan Pembangunan
Daerah, Jakarta: Penerbit Erlangga.
[1]Sri janti,Pendidikan
Kewarganegaraan untuki Mahasiswa,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal.180
[2] Diskusi lebih lanjut
mengenai catatan “keberhasilan” pembangunan indonesia lihat misalnya Booth (1992);Kuncoro
(1993);WB (1991)
[5] Sumber
(http://otonomidaerah.com/pelaksanaan-otonomi-daerah/ diakses pukul 00:10 tgl 16-11-2014)
[6] Yetti hidayatillah,(http://yettihidayah.blogspot.com/2011/11/kelebihan-dan-kekurangan-otonomi-daerah.html
diambil jam 00:12 tgl 16-11-2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar